Pengantar
Di Provinsi Sulawesi Selatan banyak dijumpai berbagai
peninggalan sejarah yang berupa benteng, monumen, masjid, makam dan
bangunan-bangunan tua lainnya. Salah satu diantaranya adalah makam raja-raja
Tallo. Kompleks makam ini terletak di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, sekitar
7 kilometer di sebelah utara kota Makassar. Kompleks makam yang dibangun
sekitar abad ke-17 ini merupakan tempat pemakaman raja-raja Tallo abad ke-17
hingga abad ke-19. Kerajaan Tallo dahulu adalah merupakan bagian dari kerajaan
Gowa. Namun, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI (Tunatangkalopi), kerajaan
Gowa dibagi menjadi dua (Gowa dan Tallo) dan diserahkan kepada kedua puteranya.
Kedua kerajaan baru tersebut kemudian membentuk suatu persekutuan yang
kekuasaannya sangat berpengaruh di wilayah Indonesia bagian timur.
Pada tahun 1974/1975 dan 1981/1982 kompleks makam
raja-raja Tallo dipugar oleh pemerintah melalui Ditjen Kebudayaan, Direktorat
Perlindungan dan pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Bangunan makam yang dipugar hingga mendekati bentuk
aslinya ini sekarang tampak asri, tertata apik dengan pepohonan yang rindang,
dan dapat dijadikan sebagai suatu obyek wisata budaya.
Komplek makam raja-raja Tallo
Komplek makam raja-raja Tallo berada di sudut sebelah
timur laut dalam lingkup benteng Tallo yang luasnya sekitar 9.225 meter
persegi. Namun, benteng Tallo itu saat ini hanya dapat ditemui sisa-sisanya
saja pada sisi barat, utara dan selatan. Sedangkan, di dalam areal benteng,
kecuali makam, telah dijadikan sebagai lahan hunian penduduk setempat.
Makam raja-raja Tallo yang berjumlah sekitar 78 buah
itu dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) tipe susun-timbun, yakni tipe
makam yang berbentuk susunan balok batu berbentuk persegi, sehinggga hampir
menyerupai bentuk susunan candi-candi di Jawa yang terdiri dari kaki, tubuh dan
atap. Tipe makam yang dahulu disebut dengan istilah jiret semu ini merupakan
tipe makam yang umum dijumpai di daerah Sulawesi Selatan, yang biasanya
diperuntukkan bagi raja, pejabat atau pembesar istana; (2) tipe papan batu,
yakni tipe makam yang dibuat seperti model bangunan kayu berbentuk empat persegi
panjang, namun bahannya terbuat dari pasangan empat bilah papan batu; dan (3)
tipe kubah, yakni bangunan berongga yang berdiri di atas batur empat persegi
dengan atap kubah yang terdiri dari empat bidang lengkung ke dalam. Bangunan
makam tipe kubang ini selain di Sulawesi Selatan, dapat dijumpai pula di daerah
Timor dan Tidore.
Sedangkan, ragam hias pada ketiga tipe makam tersebut
cukup bervariasi, yang diantaranya adalah: medalion, tumpal, panel persegi
berisi ukiran dengan pola geometris, tumbuhah/daun/kelopak bunga/suluran yang
distilir, pemasangan cawan atau piring keramik pada panel hias atau pada
dinding-dinding cungkup makam, dan kaligrafi.
Dari ke-78 makam di Tallo ini, baru sekitar 20 makam
yang dapat diidentifikasi, antara lain: makam Sultan Mudhafar (Raja Tallo
ketujuh), Karaeng Sinrinjala (saudara Sultan Mudhafar), Syaifuddin (Sultan
kesebelas), Siti Saleha (Raja Tallo keduabelas), La Oddang Riu Daeng Mangeppe
(Sultan keenambelas) dan I Malingkaang Daeng Manyonri (Raja Tallo pertama yang memeluk
agama Islam). Raja Daeng Manyori, yang mendapat julukan Macan Keboka ri Tallo
(Macan Putih dari Talo) dan Karaeng Tuammalianga ri Tomoro (Raja yang berpulang
di Timur) ini, sangat berjasa dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Buton,
Ternate dan Palu.