Bila
mendengar atau menyebut istilah ”Balla Lompoa”, maka kesan yang terbersik dalam
benak kita tentu adalah sebuah rumah besar. Hal ini tentu dimaklumi mengingat
bahwa kata ”lompo” yang disandingkan dengan kata ”balla” (rumah), dalam bahasa
lokal (Makassar) berarti besar. Bahkan kenyataan juga menunjukkan demikian
bahwa kebesaran dari segi ukuran fisik masih dapat disaksikan hingga kini.
Rumah Raja
Yang Kini Menjadi Museum. Foto: Harianto Sirajuddin
Meskipun demikian, sisi menarik dari warisan budaya Makassar ini tidak hanya terletak pada ukuran besar bangunannya, akan tetapi kebesaran makna yang ada padanya pun seharusnya menjadi perhatian. Betapa tidak, arus modernitas berikut kompleksitas perubahan yang ditimbulkan namun bangunan ini tetap memperlihatkan kekhasannya di antara sederet bangunan bernuansa modern di sekitarnya.
Ditinjau aspek arsitektur bangunannya, maka Balla Lompoa yang masih berdiri kokoh di Tana Gowa (Kabupaten Gowa) tepatnya di Sungguminasa secara kultural merupakan refleksi dari rumah masyarakat yang hidup pada masa kerajaan Gowa. Bahkan kecenderungan sebagian masyarakat menggunakannya di bekas dua kerajaan kembar (Gowa dan Tallo) ini hingga sekarang masih tampak.
Rumah Besar Di
Balik Sejarah Besar. Foto: Harianto Sirajuddin
Konsistensi
sebagian orang yang cenderung masih mempertahankan model atau arsitektur
bangunan kuno seperti ini, dalam kenyataannya sekarang dapat dimaknai secara
ganda. Pertama, didorong oleh sebuah tindak pengabadian terhadap warisan
arsitektur rumah berikut makna philosofis yang ada padanya. Karena itu,
meskipun dibangun dengan fasilitas yang disentuh oleh unsur modernitas, namun
karakter asli dari bangunan tetap dijadikan sebagai talenta utama. Kedua, arsitektur
rumah kuno dipertahankan dengan alasan ketiadakan pilihan karena faktor
ekonomi, sehingga kesederhanaan atau kekunoannya masih tampak eksis dan
dipertahankan.
Kepenasaran
historis dan keingintahuan philosofis, kemudian mengajak kita untuk mendekati
secara kultural makna setiap unsur segi empat yang merupakan ciri khas bangunan
kuno ini
Karakteristik khas Balla Lompoa yang dibangun Tahun 1936 ini, pada gilirannya tidak hanya berfungsi sekadar warisan budaya fisik dan jejak historis-arkeologis dalam wujud teknofak dan idiofak. Akan tetapi, ketertarikan banyak orang akan bangunan bersejarah ini kemudian menjadikan tempat ini sebagai obyek wisata menarik yang senantiasa didambakan orang untuk dikunjungi.
Karena itu, daya pikat luar biasa atas ragam hias yang dimiliki oleh bangunan besar ini, tidak jarang dengan tanpa sadar menggiring para pengunjung berdialog secara imaginatif dengan masa lampau zaman dimana kerajaan Gowa pernah berjaya. Bahkan sejuta tanya pun akan muncul melengkapi rasa keingintahuan dan kepenasaranan ilmiah setiap pengunjung terutama bagi mereka yang gemar produk budaya dan peninggalan sejarah.
Kepenasaran historis dan keingintahuan philosofis, kemudian mengajak kita untuk mendekati secara kultural makna setiap unsur segi empat yang merupakan ciri khas bangunan kuno ini. Betapa tidak, mulai dari bodi (fisik) bangunan, bentuk tanah yang digunakan, tiang rumah, ruangan, dan lain umumnya berbentuk segi empat. Meskipun model ini telah digunakan secara lazim dan umum di tanah Bugis-Makassar, namun bagi masyarakat yang masih konsisten terhadap nilai luhur budayanya tetap menganggapnya memiliki nilai philosofis yang dalam.
Kawasan
Balla Lompoa. Sedang Direvitalisasi. Foto M. Yulanwar
Bentuk segi
empat pada bangunan Balla Lompoa, rupanya tidak sekadar pilihan model
sebagaimana umumnya bangunan rumah. Akan tetapi, dalam kenyataannya segi empat
berhubungan dengan sebuah nilai philosofi masyarakat setempat yang disebut
”Sulapak-Appak”. Istilah yang bermakna segi empat (bahasa Indonesia) ini,
dikaitkan dengan empat unsur vital kehidupan di dunia ini yakni api, air,
tanah, dan angin.
Dalam kehidupan bermasyarakat (interaksi sosial), nilai philosofis ini juga menjadi bagian integral dari nilai etika yang menentukan eksistensi seseorang secara sosial. Sebut saja sifat seseorang yang tampak melalui prinsip yang dipegang, tidak jarang dihubungkan dengan keempat unsur ini. Bahkan tidak jarang pula dijadikan sebagai paramater untuk menentukan watak seorang anak, sehingga kadang berpengaruh terhadap penentuan jodoh.
Dalam kehidupan bermasyarakat (interaksi sosial), nilai philosofis ini juga menjadi bagian integral dari nilai etika yang menentukan eksistensi seseorang secara sosial. Sebut saja sifat seseorang yang tampak melalui prinsip yang dipegang, tidak jarang dihubungkan dengan keempat unsur ini. Bahkan tidak jarang pula dijadikan sebagai paramater untuk menentukan watak seorang anak, sehingga kadang berpengaruh terhadap penentuan jodoh.
Interior
Balla Lompoa. 'Dipenuhi Aura Sakral'. Foto: M. Yulanwar
Bagi anak pertama, sifatnya
disimbolkan seperti api sehingga ia cenderung berwatak keras dan teguh
pendirian. Kemudian, anak kedua (air), ketiga (tanah), dan keempat (angin).
Karena itu, biasanya dengan pandangan yang dipengaruhi oleh falsafah ini,
banyak orang yang tidak menjodohkan anak mereka sesama anak pertama dengan
pertimbangan kedua sama keras.
Makna philosofis lainnya, yakni pada struktur bangunan yang terdiri atas tiga susun juga merupakan perlambang atau refleksi dari sistem kepercayaan masyarakat. Maksudnya, bagian atas (loteng) diasumsikan sebagai langit, bagian tengah (kale balla) sebagai bumi, dan bagian bawah (passiringan) yang dianggap mewakili ketiganya yakni atas tengah dan bawah.
Makna philosofis lainnya, yakni pada struktur bangunan yang terdiri atas tiga susun juga merupakan perlambang atau refleksi dari sistem kepercayaan masyarakat. Maksudnya, bagian atas (loteng) diasumsikan sebagai langit, bagian tengah (kale balla) sebagai bumi, dan bagian bawah (passiringan) yang dianggap mewakili ketiganya yakni atas tengah dan bawah.
Interior
Balla Lompoa. Foto: M. Yulanwar
Demikian
pula dengan bagian rumah dari depan hingaa belakang, memiliki makna yang
dihubungkan dengan tubuh manusia (rupa tau). Pada bagian ruangan depan rumah
(paddaserang ri olo,) disimbolkan sebagai kepala manusia (ulu tau). Bagian
tengah (paddaserang tangga), diasumsikan sebagai badan manusia hingga batas
kaki. Sedangkan ruangan bagian belakang (paddaserang ri boko) dikonotasikan
sebagai kaki manusia.
Akhirnya, kita harus menyepakati bahwa Balla Lompoa sebagai peninggalan sejarah dan warisan budaya, tidak hanya dimaknai lompo (besar) karena ukuran bangunannya. Akan tetapi, kebesaran bangunan ini juga dibuktikan oleh sejumlah nilai yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan penting kemudian, yakni masihkah Ballo Lompoa ini di masa mendatang tetap menunjukkan kekesarannya di antara perhatian setengah hati generasi muda untuk melestarikan sederet nilai yang ada padanya?. Kemauan dan kenyataan, tentu merupakan pemegang otoritas tertinggi untuk mejawabnya.
Akhirnya, kita harus menyepakati bahwa Balla Lompoa sebagai peninggalan sejarah dan warisan budaya, tidak hanya dimaknai lompo (besar) karena ukuran bangunannya. Akan tetapi, kebesaran bangunan ini juga dibuktikan oleh sejumlah nilai yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan penting kemudian, yakni masihkah Ballo Lompoa ini di masa mendatang tetap menunjukkan kekesarannya di antara perhatian setengah hati generasi muda untuk melestarikan sederet nilai yang ada padanya?. Kemauan dan kenyataan, tentu merupakan pemegang otoritas tertinggi untuk mejawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar