Waktu
bergulir tanpa terasa. Sengat mentari siang pukul 2 seakan menghajar
punggungku, ketika kubergegas menuju Sungguminasa, Gowa. Masuk melalui pintu
belakang, tampak olehku wanita setengah baya sedang menjajakan sayurnya
persis di dekat pintu. Keanggunan Balla Lompoa sedikit demi sedikit menampakkan
diri. Meski redup lantaran perlakuan cuaca, aura kebesarannya masih memancarkan
kharisma kejayaan Gowa.
Rumah Besar
Di Balik Sejarah Besar. Foto: Harianto Sirajuddin
Berwarna
coklat tua yang seluruhnya terbuat dari kayu, Balla Lompoa yang berarti rumah
besar atau rumah kebesaran, (masih) berdiri kokoh tepat di jantung Ibukota
Gowa, Sungguminasa. Meski tak pantas lagi disebut muda, bangunan bergaya khas
Makassar ini tak hancur ditelan waktu, bahkan hiruk pikuk lalu lalang kendaraan
dengan polusi asapnya tidak membuat bangunan ini tampak buram. Sebaliknya
terlihat masih cantik, mungkin karena mistis kebesaran Kerajaan Gowa masih
menitis di ‘ubun’ rumah atas itu hingga sekarang.
Jika
kedalaman makna sering tersimpan pada benda-benda bersejarah, gerangan dengan
cara apa kita mendapatkannya untuk dibumikan kembali di era sekarang? Apakah
cukup dengan hanya berbangga pada cerita masa lalu?
Berubah fungsi menjadi museum, bangunan yang dulunya Istana Raja ini menghadapi tantangan sifat acuh dari masyarakat modern sekarang yang ogah berlama-lama di museum dan menghayati sejarah budayanya. Museum Istana Balla Lompoa hanya ramai jika ada acara atau ada tamu khusus. Selebihnya adalah hari-hari sunyi; pengunjung harian bisa dihitung jari. Alasannya, takut datang sendiri. Dari penuturan banyak pengunjung, mengaku pernah melihat dan merasakan sesuatu yang mistis bila naik, masuk ke bangunan besar itu.
I
Mangngi-Mangngi Dg Matutu Karaeng Bontonompo Bersama Raja Bone Andi
Mappanyukki. Foto Repro
Menengok salah satu bangunan yang
berdiri tegak di samping Balla Lompoa (yang modelnya serupa) tak lain adalah
Istana Tamalate. Bangunan kokoh yang dibangun di masa Syahrul Yasin Limpo
menjabat Bupati Gowa (1980-an) ini, bukan asli peninggalan Kerajaan Gowa
melainkan hanya replika Istana Tamalate yang dipercaya turun temurun pernah
ada pada abad ke-13, dan menjadi Istana Raja Gowa pertama.
Istana Balla Lompoa dibangun pada tahun 1936 di masa pemerintahan Raja Gowa ke-35, I Mangngi Mangngi Daeng Matutu. Sebagai pusat pemerintahan, bangunan bercita seni tinggi ini pernah ditempati oleh dua raja, yaitu I Mangi Manggi Daeng Matutu dan Raja Gowa ke 36 Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Kadir Aidir. Sebelum Balla Lompoa dibangun, raja sebelumnya yakni Andi Makkulau, menggunakan rumah kediamannya di Jalan Kumala, Makassar sebagai istana. Saat I Mangngi Mangngi Daeng Matutu berkuasa seluruh benda bersejarah di pindahkan dari kediaman Andi Makkulau ke Istana Balla Lompoa.
Istana Balla Lompoa dibangun pada tahun 1936 di masa pemerintahan Raja Gowa ke-35, I Mangngi Mangngi Daeng Matutu. Sebagai pusat pemerintahan, bangunan bercita seni tinggi ini pernah ditempati oleh dua raja, yaitu I Mangi Manggi Daeng Matutu dan Raja Gowa ke 36 Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Kadir Aidir. Sebelum Balla Lompoa dibangun, raja sebelumnya yakni Andi Makkulau, menggunakan rumah kediamannya di Jalan Kumala, Makassar sebagai istana. Saat I Mangngi Mangngi Daeng Matutu berkuasa seluruh benda bersejarah di pindahkan dari kediaman Andi Makkulau ke Istana Balla Lompoa.
I
Mangngi-Mangngi Dg Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin.
Foto Repro
Sebagai museum, Istana Balla Lompoa
menyimpan beberapa artefak Kerajaan Gowa yang masih tersisa, seperti mahkota,
buku-buku perjuangan, bendera, badik, payung, kereta kebesaran, termasuk
benda-benda lain yang umumnya terbuat dari emas murni yang dihiasi berlian,
batu ruby, intan, maupun permata. Koleksi perhiasan dan pusaka istana yang
disakralkan rata-rata memiliki bobot 700 gram, bahkan ada yang 1 kilogram.
Selain itu, tak kalah berharganya 10 buah tombak, 7 buah naskah lontara, dan 2
buah kitab Al Quran yang ditulis tangan berangka tahun 1848, ujar Hj. Nuraeni,
salah satu penjaga Museum Balla Lompoa. Sebenarnya, selain Balla Lompoa,
peninggalan Kerajaan Gowa masih banyak tersebar luas di seputar Sungguminasa
dan Kota Makassar. Sebut saja antara lain, Masjid Katangka, Bungung Lompoa
(Sumur Besar), Benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) atau dikenal juga sebagai
Benteng Pannyua (Penyu), dan Benteng Somba Opu.
Sebelum menjadi museum, Balla Lompoa pernah digunakan sebagai gedung rakyat (tidak berbeda dengan gedung DPRD) di masa pemerintahan Bupati Gowa ke-3, KS Maksum. Istana Balla Lompoa memiliki tiga bilik utama yang masing-masing berukuran 6 x 5 meter. Satu bilik digunakan sebagai kamar pribadi raja, satu bilik tempat penyimpanan benda-benda pusaka, dan satunya lagi merupakan bilik kerajaan. Sementara bangunan di bagian belakang diperuntukkan bagi permaisuri dan keluarganya.
Sebelum menjadi museum, Balla Lompoa pernah digunakan sebagai gedung rakyat (tidak berbeda dengan gedung DPRD) di masa pemerintahan Bupati Gowa ke-3, KS Maksum. Istana Balla Lompoa memiliki tiga bilik utama yang masing-masing berukuran 6 x 5 meter. Satu bilik digunakan sebagai kamar pribadi raja, satu bilik tempat penyimpanan benda-benda pusaka, dan satunya lagi merupakan bilik kerajaan. Sementara bangunan di bagian belakang diperuntukkan bagi permaisuri dan keluarganya.
I
Mangngi-Mangngi Saat Dilantik Menjadi Raja Gowa Xxxv Pada Tahun 1937. Beliau
Mangkat 5 April 1946. Gelar Kemangkatannya 'Tu Menanga Ri Sungguminasa. Foto
Repro
Atas nama
kepedulian, menelusuri dan mencari makna sejarah dan budaya yang ditinggalkan
Kerajaan Gowa, tersirat betapa Balla Lompoa menanti perawatan dan perhatian
paripurna yang total, setotal kebesaran nama Gowa yang diterima bangga oleh
banyak generasi. Dan dengan harap-harap cemas, semoga area sejarah ini tak ikut
tergerus oleh bangunan berbau komersial hanya untuk memuaskan ketamakan
oknum yang berlindung di balik kata pembangunan atau modernism yang memabukkan,
yang berakibat teronggoknya Balla Lompoa sebagai simbol sejarah tanpa arti.
Terlindas jaman, dianggap penghambat kemajuan sebagaimana nasib situs-situs
sejarah lainnya di Kota Makassar.
Akhirnya, banyak saran untuk kelangsungan kemajuan Sungguminasa. Salah satunya: “Jangan pernah lepas dari sejarah dan budaya. Kembali dan membangunlah dengan budaya. Membangun dengan semangat kearifan Balla Lompoa.”
Akhirnya, banyak saran untuk kelangsungan kemajuan Sungguminasa. Salah satunya: “Jangan pernah lepas dari sejarah dan budaya. Kembali dan membangunlah dengan budaya. Membangun dengan semangat kearifan Balla Lompoa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar