Selasa, 21 Februari 2012

Istana Balla Lompoa: Kearifan yang Tertidur


Waktu bergulir tanpa terasa. Sengat mentari siang pukul 2 seakan menghajar punggungku, ketika kubergegas menuju Sungguminasa, Gowa. Masuk melalui pintu belakang, tampak olehku wanita setengah baya sedang  menjajakan sayurnya persis di dekat pintu. Keanggunan Balla Lompoa sedikit demi sedikit menampakkan diri. Meski redup lantaran perlakuan cuaca, aura kebesarannya masih memancarkan kharisma kejayaan Gowa.
Rumah Besar Di Balik Sejarah Besar. Foto: Harianto Sirajuddin
Berwarna coklat tua yang seluruhnya terbuat dari kayu, Balla Lompoa yang berarti rumah besar atau rumah kebesaran, (masih) berdiri kokoh tepat di jantung Ibukota Gowa, Sungguminasa. Meski tak pantas lagi disebut muda, bangunan bergaya khas Makassar ini tak hancur ditelan waktu, bahkan hiruk pikuk lalu lalang kendaraan dengan polusi asapnya tidak membuat bangunan ini tampak buram. Sebaliknya terlihat masih cantik, mungkin karena mistis kebesaran Kerajaan Gowa masih menitis di ‘ubun’ rumah atas itu hingga sekarang.

Jika kedalaman makna sering tersimpan pada benda-benda bersejarah, gerangan dengan cara apa kita mendapatkannya untuk dibumikan kembali di era sekarang? Apakah cukup dengan hanya berbangga pada cerita masa lalu?


Berubah fungsi menjadi museum, bangunan yang dulunya Istana Raja ini menghadapi tantangan sifat acuh dari masyarakat modern sekarang yang ogah berlama-lama di museum dan menghayati sejarah budayanya. Museum Istana Balla Lompoa hanya ramai jika ada acara atau ada tamu khusus. Selebihnya adalah hari-hari sunyi; pengunjung harian bisa dihitung jari. Alasannya, takut datang sendiri. Dari penuturan banyak pengunjung, mengaku pernah melihat dan merasakan sesuatu yang mistis bila naik, masuk ke bangunan besar itu.
I Mangngi-Mangngi Dg Matutu Karaeng Bontonompo  Bersama Raja Bone Andi Mappanyukki. Foto Repro
I Mangngi-Mangngi Dg Matutu Karaeng Bontonompo Bersama Raja Bone Andi Mappanyukki. Foto Repro
Menengok salah satu bangunan yang berdiri tegak di samping Balla Lompoa (yang modelnya serupa) tak lain adalah Istana Tamalate. Bangunan kokoh yang dibangun di masa Syahrul Yasin Limpo menjabat Bupati Gowa (1980-an) ini, bukan asli peninggalan Kerajaan Gowa melainkan hanya replika Istana Tamalate yang dipercaya turun temurun pernah ada  pada abad ke-13, dan menjadi Istana Raja Gowa pertama.

Istana Balla Lompoa dibangun pada tahun 1936 di masa pemerintahan Raja Gowa ke-35, I Mangngi Mangngi Daeng Matutu. Sebagai pusat pemerintahan, bangunan bercita seni tinggi ini pernah ditempati oleh dua raja, yaitu I Mangi Manggi Daeng Matutu dan Raja Gowa ke 36 Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Kadir Aidir. Sebelum Balla Lompoa dibangun, raja sebelumnya yakni Andi Makkulau, menggunakan rumah kediamannya di Jalan Kumala, Makassar sebagai istana. Saat I Mangngi Mangngi Daeng Matutu berkuasa seluruh benda bersejarah di pindahkan dari kediaman Andi Makkulau ke Istana Balla Lompoa.
I Mangngi-Mangngi Dg Matutu Karaeng Bontonompo  Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Foto Repro
I Mangngi-Mangngi Dg Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Foto Repro
Sebagai museum, Istana Balla Lompoa menyimpan beberapa artefak Kerajaan Gowa yang masih tersisa, seperti mahkota, buku-buku perjuangan, bendera, badik, payung, kereta kebesaran, termasuk benda-benda lain yang umumnya terbuat dari emas murni yang dihiasi berlian, batu ruby, intan, maupun permata. Koleksi perhiasan dan pusaka istana yang disakralkan rata-rata memiliki bobot 700 gram, bahkan ada yang 1 kilogram. Selain itu, tak kalah berharganya 10 buah tombak, 7 buah naskah lontara, dan 2 buah kitab Al Quran yang ditulis tangan berangka tahun 1848, ujar Hj. Nuraeni, salah satu  penjaga Museum Balla Lompoa. Sebenarnya, selain Balla Lompoa, peninggalan Kerajaan Gowa masih banyak tersebar luas di seputar Sungguminasa dan Kota Makassar. Sebut saja antara lain, Masjid Katangka, Bungung Lompoa (Sumur Besar), Benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) atau dikenal juga sebagai Benteng Pannyua (Penyu), dan Benteng Somba Opu.

Sebelum menjadi museum, Balla Lompoa pernah digunakan sebagai gedung rakyat (tidak berbeda dengan gedung DPRD) di masa pemerintahan Bupati Gowa ke-3, KS Maksum. Istana Balla Lompoa memiliki tiga bilik utama yang masing-masing berukuran 6 x 5 meter. Satu bilik digunakan sebagai kamar pribadi raja, satu bilik tempat penyimpanan benda-benda pusaka, dan satunya lagi merupakan bilik kerajaan. Sementara bangunan di bagian belakang diperuntukkan bagi permaisuri dan keluarganya.
I Mangngi-Mangngi Saat Dilantik Menjadi Raja Gowa Xxxv Pada Tahun 1937. Beliau Mangkat 5 April 1946. Gelar Kemangkatannya 'Tu Menanga Ri Sungguminasa. Foto Repro
Atas nama kepedulian, menelusuri dan mencari makna sejarah dan budaya yang ditinggalkan Kerajaan Gowa, tersirat betapa Balla Lompoa menanti perawatan dan perhatian paripurna yang total, setotal kebesaran nama Gowa yang diterima bangga oleh banyak generasi. Dan dengan harap-harap cemas, semoga area sejarah ini tak ikut tergerus oleh bangunan berbau komersial hanya untuk memuaskan  ketamakan oknum yang berlindung di balik kata pembangunan atau modernism yang memabukkan, yang berakibat teronggoknya Balla Lompoa sebagai simbol sejarah tanpa arti. Terlindas jaman, dianggap penghambat kemajuan sebagaimana nasib situs-situs sejarah lainnya di Kota Makassar.

Akhirnya, banyak saran untuk kelangsungan kemajuan Sungguminasa. Salah satunya: “Jangan pernah lepas dari sejarah dan budaya. Kembali dan membangunlah dengan budaya. Membangun dengan semangat kearifan Balla Lompoa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar